Resensi Buku Teori Negara Hukum

Judul Buku : Teori Negara Hukum
Penulis : Fajlurrahman Jurdi
Penerbit : Setara Press
Tebal  : i – xii hingga 1 – 258
Peresensi : Mufti Ashari Sigit
(Mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS Angkatan 2015)

Buku “Teori Negara hukum” ini secara luas menjelaskan tiga bagia, dimana bagian yang pertama menjelaskan mengenai sejarah Negara hukum, kemudian dibagian kedua menjelaskan tentang teori Negara hukum itu sendiri, dan yang terakhir yaitu bagian yang ketiga adalah mengenai pandangan tokoh tentang Negara hukum.

Pada awal bagian ini yaitu mengenai sejarah Negara hukum, dimana dalam bagian ini terkhusus menjelaskan tentang demokrasi yang berhenti pada hulu zaman trio philosopher, yakni Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiganya merupakan rujukan otoritatif sejarah yang dipuja dan selalu hidup meskipun zaman dan sejarah terus berganti.

Sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli bahwa pemikiran dalam konteks Negara kota dalam Polis di Yunani memiliki ciri khusus, yaitu :

1. Zoon Politico. Setiap warga polis adalah warga yang melek politik, dalam arti peduli soal-soal pengelolaan Negara dan bahkan terlibat langsung dalam penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu, kurang tepat jika zoon politicon diterjemahkan hanya sebagai makhluk sosial.
2. Stad –staat. Warga polis tersusun dalam golongan-golongan stratifikasi: golongan atas, menengah dan golongan biasa/bawah.
3. Status activius. Setiap warga polis aktif memerintah.
4. Staatsgemeinschaft. Rakyat adalah warga Negara yang wajib memenuhi tugas Negara.
5. Kultgemeinschaft. Rakyat adalah warga Negara keagaaman yang wajib memenuhi tugas agama.
6. Encyclopedie (lingkaran pengetahuan). Berbagai macam ilmu yang harus diajarkan pada rakyat, agar aktif memerintah secara produktif.

Dalam Politeia, karya Plato yang sangat mahsyur adalah gagasan awal tentang Negara dan hukum yang diperkuat kembali dengan Politikos yang berbicara tentang ahli Negara, atai Staatman dan Nomoi yang berbicara mengenai hukum “the law”. 

Sementara itu, Aristoteles (murid Plato) memandang Negara sebagai ciptaan alam karena manusia yang hidup sendirian tidak dapat mencukupi dirinya sendiri, dan dengan demikian harus dianggap sebagai suatu bagian dalam hubungan dengan keseluruhan. Menurut Aristoteles, politik merupakan suatu cabang pengetahuan praktis. Politik merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dan kegiatan kelompok.

Lebih lanjut, untuk mengefektifkan kelembagaan kenegaraan, Plato membagi penduduk dalam tiga golongan, yaitu :
1. Golongan Bawah, yaitu golongan rakyat jelata yang merupakan petani, tukang, dan saudagar.
2. Golongan Tengah, yaitu penjaga atau pembantu dalam urusan Negara.
3. Golongan Atas, yaitu kelas pemerintah atau filsuf.

Konsepsi Negara hukum dalam sejarah klasik itu kemudian dikembangkan di abad pencerahan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Baron de Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan sebagainya yang kemudian menjadi pijakan berkembangnya Negara hukum modern. Terbelahnya arus pemikiran Negara hukum rechtstaat dan rule of law menunjukkan bahwa pemikiran Negara hukum diberbagai benua dipengaruhi sepenuhnya oleh pemikiran took-toko tersebut.

Sejarah sentralnya tetap bermula dari konsepsi awal Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Tanpa pelekatan dasar konsep Negara dan kekuasaan serta bentuk pemerintahan dari mereka, kita sulit mengenali sejarah demokrasi bermula. Itulah sebabnya, sejarah pemikiran mereka membentang dari filsafat hingga Negara yang kesemuanya merupakan satu kesatuan pemikiran yang secara terus menerus direproduksi sebagai pemikiran yang tidak pernah hilang dalam sejarah umat manusia.

Setelah beranjak diawal bagian, kemudian lanjut pada bagian berikutnya yang membahas mengenai teori Negara hukum. Apabila kita merujuk pada konsep hukum masa kini, maka bangunan dasar Negara harus merespons realitas sosial agar teratur atau memiliki keteraturan adalah dengan menggunakan hukum untuk mengikat mereka.

Apabila kita merujuk pada Al. Andang L. Binawan bahwa ciri hakiki hukum bermakna ganda, ia menyebutkan sebagai berikut :
1. Relasi antar manusia.
2. Ciri rasional hukum juga berarti bahwa itu berciri menghubungkan.
3. Ciri kompromis. Karena adanya keragaman pemahaman tentang banyak hal, khususnya tentang keadilan, yang ada di tengah masyarakat, maka diperlukan suatu kompromis.

Perkembangan konsep Negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian Negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara hukum sudah berkembang semenjak 1800 S.M.

Professor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan Negara hukum materiil atau Negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam artian peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara hukum materiil yang yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan didalamnya.

Pada bagian berikutnya terdapat tulisan megenai Negara hukum profetik. Istilah profetik pertama kali diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Beliau memperkenalkan apa yang disebut dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP). Kata profetik sendiri berarti kenabian. Negara hukum profetik bias juga diartikan Negara islam yang memiliki keterkaitan dengan setting historis masyarakat Madinah pada masa Rasulullah Muhammad SAW hidup.

Ada kecenderungan penglihatan, bahwa model Negara Madinah, dianggap sebagai dasar sejarah pembentukan Negara Islam, dengan asumsi-asumsi syariah-teologis, historis dan sosiologis. Sekalipun Islam tidak memperkenalkan bentuk Negara secara rinci, tetapi sacara substansial, suatu Negara yang menganut asas nomokrasi, yang pertama-tama adalah merujuk pada teks-teks dasar Islam dalam proses pembangunan.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, dalam penjelasan UUD 1945 apa yang disebut ‘Negara hukum’ disebutkan disitu secara lebih lengkap dalam rangkaian kata-kata “ Negara yang berdasarkan hukum”. Sebenarnya istilah ini adalah hasil terjemahan berbahasa Belanda yang artinya rechtstaat. Istilah ini tersimak dalam perundang-undangan di Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1854, ialah tahun diundang-undangkannya Regeringsreglement Hindia Belanda.

Secara tegas, Philipus M.Hadjon membagi rechtstaat ke dalam dua varian, yaitu :
1. liberal-democratische rechstaat.
2. sociale rechtstaat.

Paham the rule of law dalam sistem hukum anglo saxon pada hakikatnya tidak berbeda dari paham rechtstaat dalam sistem hukum eropa continental, yang berbeda adalah sistem hukum eropa continental muncul sebagai suatu sistem yang rasional dan revolusioner terhadap absolutism, sedangkan sistem hukum anglo saxon berkembang secara revolusioner sebagai suatu usaha untuk melepaskan diri dari sistem absolutis.

Konsep the rule of law oleh A.V. Dicey yaitu mempunyai tolak ukur/unsur-unsur sebagai berikut :
1. Supremasi hukum.
2. Persamaan di depan hukum.
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan.

Selain rechstaat dan rule of la, ada juga substansi lain yaitu social legality. Dalam Negara huklum social legality, hukum ditempatkan di bawah sosialisme. Hukum adalah alat untuk mencapai sosialisme. Socialist law adalah nama resmi untuk sistem hukum di Negara-negara komunis. Tradisi hukum sosialis bukan terutama didasarkan pada peranan peraturan perundang-undangan yaitu yurisprudensi, melainkan pada dasar kebijaksanaan ekonomi dan sosial.

Melihat hal tersebut diatas, kita bisa meyakini bahwa komisi-komisi Negara dalam konteks social legality juga dikenal, sehingga apabila dikonversi dalam konteks Negara hukum Indonesia, keberadaan komisi-komisi Negara ini bisa diterima sebagai sesuatu yang tidak terbantahkan.

Disamping itu di dalam buku ini juga menjelaskan mengenai paham Negara hukum integralistik (kekeluargaan). UUD 1945 pra-amandemen dinilai banyak pihak bertentangan dengan konstitusi hukum modern. Pemikiran Soepomo, pakar hukum adat, yang menurut banyak pihak itu memengaruhi perumusan UUD 1945, dengan apa yang disebutnya sebagai ide Negara ‘integralistik’ atau paham Negara ‘kekeluargaan’. Teori integralistik, teori ini diajarkan oleh Spionza, Adam Muller, Hegel, dll (abad 18 dan 19). Menurut pikiran ini, Negara ada tidak untuk menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat orang organis.

Soepomo berpandangan bahwa prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam Negara seluruhnya, cocok dengan pikir ketimuran. Soepomo menolak perspektif individualis Eropa Barat karena menghasilkan imperialisme dan sistem eksploitasi.

Sementara itu para pendiri Negara (Indonesia) telah meimiliki suatu paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu pada tradisi hukum barat, melainkan juga berakar pada tradisi asli bangsa Indonesia. Paradigma bernegara itu dirumuskan dengan memadukan secara paripurna lima prinsip bernegara (Indoensia), yakni Ketuhanan, Kemanusian, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial ke dalam suatu konsep yaitu Pancasila. A. Hamid S. Attamimi mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan Negara Indonesia, Pancasila telah dinyatakan kedudukannya oleh para pendiri Negara ini sebagaimana terlihat dalam UUD 1945 dalam penjelasan umum. 

Dalam pandangan ahli hukum semisal Jimly Asshiddiqie memiliki pandangan yaitu Pancasila adalah cita hukum sebagai yardstick (tidak ada campur tangan pemerintah) dalam menafsirkan konstitusi dan sebagai panduan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemudian didalam buku ini ada yang dinamakan Negara hukum postmodern, istilah postmodern itu sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk melakukan kritik terhadap praktik-praktik modernitas. Di dalam  teori postmodern, kekuatan-kekuatan modern beserta segala implikasi yang ditimbulkannya telah membawa banyak kemunduran bagi peradaban manusia, kritik terhadap postmodern adalah merupakan kilas balik dari beberapa penjaga proyek modernitas. 

Misalnya saja kritik terhadp postmodernitas dari Terry Eagleton (1966) dan Christopher Norris (1990, 1993, 1994) yaitu postmodern sudah habis, sudah tamat riwayatnya, dan sudah ketinggalan zaman. Akan tetapi sebagai teori dekonstruksi, postmodern merupakan upaya untuk menegaskan kembali bahwa hukum selama ini sebagai narasi besar yang dianggap sebagai sumber kebenaran dan keadilan semata-mata tidaklah benar. Bahwa hukum adalah pasal-pasal yang dipaksakan oleh Negara untuk ditegakkan adalah merupakan pandangan yang tidak dapat di pertahankan. Sebab itu, hukum cenderung harus menemukan dan bersentuhan secara langsung dengan keadaan sosial.

Selain itu, tercantum juga di dalam buku mengenai Negara hukum pascakolonial, istilah Negara hukum pascakolonial adalah untuk menemukan suatu kajian baru bagi Negara yang pernah mengalami penjajahan. Penjajah tidak pergi begitu saja dan tanpa jejak, namun menyisahkan benda-benda yang  berupa simbol kewenang-wenangan kolonialis dan “pengetahuan” dan “keyakinan” seperti hukum dan undang-undang colonial, agama kolonial, atau perangkat bahasa kolonial, kota kolonial sebagai simbol kekerasan dan dominasi.

Apabila kita  merujuk Ahmad Baso, katanya, saya tidak ingin mengungkap detail-detail fakta baru dalam sejarah masa lalu yang tidak ditemukan oleh studi sebelumnya, saya bergumul dengan masa kini, apa yang bisa dikatan sebagai “momen-momen pasca kolonial” pada masa kini. 

Dengan demikian, studi pasca kolonial adalah upaya untuk melihat keterkaitan antara masa lalu dengan masa kini. Dan dengan demikian pula, Negara hukum pascakolonial adalah suatu Negara yang masih belum memiliki huku  sendiri, dimana hukum yang digunakan adalah warisan masa lalu, dan hukum yang dibuat di masa kini masih merupakan bagian dari warisan “pemikiran” masa lalu.

Buku Teori Negara Hukum ini juga membahasa beberapa tokoh penting, diantara beberapa tokoh tersebut, peresesensi akan menuliskan lima tokoh yang peresensi anggap penting, meskipun semua tokoh di dalam buku tersebut penting.

Pertama, adalah Nicolo Machiavelli, tokoh tersebut lahir di Florence, Italia pada tahun 1469 dan ia hidup pada masa puncak keemazan Lorenzo yang agung. Karyanya yang sangat terkenal adalah II Principle (Sang Pangeran). Ide dasar karyanya adalah ia membuang jauh pengaruh agama terutama Kristen. Ia lebih realistis melihat problem-problem yang dialami bangsa Italia kala itu seperti perang saudara, saling berebut kekuasaan, anarkisme yang akhirnya tak pernah mampu membawa rakyat dan bangsa Italia menjadi suatu Negara nasional.

Teori yang digagaskan oleh Machiavelli adalah bagian dari kekecewaan terhadap realitas masyarakat Italia pada masa itu. Jelas sekali bahwa Machiavelli seorang realis yang menuntut agar ada jarak antara moral, hukum dan agama dengan kekuasaan.

Pada tanggal 18 Januari 1686, pada bulan yang sama dengan Bill of Right di Inggris ditandatangani, lahirlah Charles-Louis de Secondat Baron de Montesquieu, di Chateau, de La Brede. Setelah kesuksesan karya Persian Letters, Motesquieu mulai menghabiskan banyak waktunya di Paris. Sumbangan Montesquieu yang besar terhadap Negara hukum adalah teori pemisahan kekuasaan. Menurut Montesquieu, dalam prinsip pemerintahan ini “rakyat sangat pantas memilih orang-orang yang hendak mereka beri kepercayaan untuk menjalankan sebagian kewenangan mereka”.

Hans Kelsen lahir dari pasangan yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tangal 11 Oktober 1881. Pada tahun 1908 dia mengikuti seminar di Heidelberg yang diselenggarakan oleh Georg Jellinek. Tahun 1911 Kelsen mengajar di University of Vienna untuk bidang hukum public dan filsafat hukum dan menyelesaikan karya Hauptprobleme der Staatsrechtslehre. Pada tahun 1914 Kelsen menerbitkan dan menjadi editor the Austrian Journal of Public Law.

Kelsen dikenal sebagai ahli hukum positivis dan memiliki pandangan-pandangan yang lebih kuat untuk mendukung seluruh asumsi teoritis kau positivis. Dalam kaitannya dengan teori hukum positivis, Hans Kelsen menamakannya dengan teori “hukum murni”. 

Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Jurgen Habermas dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1929 di Kota Dusseldorf, Jerman. Habermas lebih banyak dikenal sebagai tokoh teori Kritis. Karya-karyanya terutama yang diterjemahkan atau gagasannya ditulis di Indonesia, banyak menonjolkan aliran pemikirannya sebagai tokoh dan pemikir dari Mazhab Frankfurt. Habermas, seperti yang kita kenal adalah seorang tokoh Marxisme Barat. Kritik-kritiknya atas basis Epistemologis pada Marxisme Ortodoks pada tahun 1960-an, dan juga atas patologi-patologi masyarakat kapitaslis liberal pada tahun 1980-an, menjadi sangat relevan bagi kehidupan internal di Negara kita pada waktu itu.

Jimly Asshiddiqie adalah guru besar Hukum Tata Negara yang juga terlibat dalam pergulatan  politik. Penulis tidak akan mengambil atau merujuk salah satu dari buku-buku yang pernah ditulisnya, tetapi penulis ingin melihat inti pemikiran Asshiddiqie terkait dengan Negara Hukum yang tertuang dalam karya karya yang di tulisnya.

Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa “Ada dua belas prinsip pokok Negara hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu hukum Negara modern. Kedua belas prinsip pokok tersebut dijabarkan oleh Asshiddiqie sebagai berikut:

1. Supermasi Hukum.
2. Persamaan Dalam Hukum.
3. Asas Legalitas.
4. Pembatasan Kekuasaan.
5. Organ-organ Eksekutif Independen.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
8. Peradilan Tata Negara.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
10. Bersifat Demokratis.
11. Berfungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara.
12. Transparansi dan Kontrolsosial.

0 Response to "Resensi Buku Teori Negara Hukum"

Post a Comment